Gereja Puhsarang di Kediri merupakan model inkulturasi ajaran Katolik dan budaya Jawa. Kini, Puhsarang menjadi salah satu objek ziarah kristiani terbesar di Jawa Timur.
Malam Kudus, yang menjadi 'lagu wajib' misa malam Natal, di Gereja Katolik Puhsarang, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, dibawakan dalam bahasa Jawa.
"Santi Ratri.
Ing Ratri, dalu adi.
Prapangen miyarsi...."
Jemaat sederhana di desa ini memang sejak dulu menggunakan Kidung Adi, buku doa dan nyanyian Katolik versi bahasa Jawa. "Berdoa dan menyanyi pakai bahasa Jawa rasanya lebih mantap. Pakai bahasa Indonesia juga bisa, cuma rasanya lain dibandingkan dengan bahasa Jawa," tutur Maria Magdalena Asri Evayanti, guru sekolah dasar setempat, kepada saya.
Lagu-lagu liturgi ini diiringi gamelan jawa, bukan organ atau piano seperti di gereja-gereja di kota. Selama hampir 20 tahun menetap di Puhsarang, Maria merasakan bahwa jemaat lebih afdal mengikuti liturgi bercorak inkulturasi Jawa. Namun, belakangan ini Gereja Puhsarang 'diserbu' ribuan jemaat dari luar, sehingga mau tak mau misa atau ibadat tidak lagi 100 persen berbahasa Jawa.
"Kalau pakai bahasa Jawa thok, kasihan orang-orang kota yang kurang paham bahasa Jawa. Liturgi itu kan harus bisa dirasakan oleh semua umat," ujar Maria Magdalena.
Begitulah. Didirikan oleh Romo H Wolters CM, waktu itu pastor paroki di Kediri, pada 1936 Gereja Puhsarang sejak awal dirancang sebagai gereja bernuansa budaya Jawa alias gereja inkulturasi. Kebetulan saat itu ada Henricus Maclaine Pont, arsitek Belanda, yang sangat kagum dengan situs-situs peninggalan Kerajaan Mojopahit di Trowulan, Mojokerto.
Karena itu, ketika diminta Romo Wolters untuk membuat sebuah gereja di Puhsarang, Maclaine Pont sangat antusias. Dia menggambar arsitektur gereja ala situs-situs peninggalan Majapahit. Maksudnya agar gereja baru itu 'ramah lingkungan', sejalan dengan budaya Jawa yang dipegang teguh oleh masyarakat di sekitarnya.
"Warga di desa itu kan sederhana, miskin. Pendidikan mereka rata-rata rendah. Jadi, bentuk gereja ala Jawa membuat warga kerasan," tutur Romo GAS Andri Cahyono Pr, pastor yang pernah bertugas di Gereja Puhsarang, kepada saya.
Menurut dia, sejak dulu gereja yang dikeliling hutan bambu ini sudah menarik perhatian masyarakat dari berbagai kalangan, tak hanya umat Katolik. Mereka rata-rata mengagumi arsitektur bangunan yang dipenuhi bebatuan kecil, mirip sepasang rusa sedang menikmati air air. "Memang dibandingkan dengan gereja-gereja di kota, Gereja Puhsarang punya magnet tersendiri," kata pastor yang juga mantan wartawan sebuah majalah rohani itu.
Saking populernya, Gereja Puhsarang kebanjiran para wisatawan rohani. Ini membuat Uskup Surabaya Mgr Johanes Hadiwikarta Pr (almarhum) menggagas pendirian tempat ziarah untuk umat Katolik di situ. Uskup yang dikenal kuat devosinya pada Bunda Maria itu kemudian memutuskan untuk mendirikan Gua Maria, tak jauh dari gereja.
"Jadi, umat yang melihat bangunan gereja bisa sekalian berziarah, berdoa, jalan salib, melakukan refleksi di sekitar situ," ujar Mgr Hadiwikarta saat tempat ziarah dalam proses pembanguan.
Proses pembangunan berjalan mulus. Dan, pada awal tahun 2000 Mgr Hadiwikarta memimpin misa pemberkatan sekaligus peresmian tempat ziarah baru di samping Gereja Puhsarang. Dia menamakan tempat ziarah itu Gua Maria Lourdes.
"Biar umat Katolik tidak perlu jauh-jauh ke Lourdes, Prancis. Toh di Puhsarang ada Gua Maria," kata Mgr Hadiwikarta.
Sejak itulah, Puhsarang banjir pengunjung dari berbagai penjuru tanah air, bahkan luar negeri. Apalagi, setiap malam Jumat Legi digelar tirakatan di kompleks Gua Maria. Tirakatan ini upaya inkulturasi ajaran Katolik dengan budaya Jawa. "Sampai sekarang acara tirakatan selalu diminati umat dari seluruh Jawa Timur, bahkan Jakarta dan luar Jawa," ujar Romo GAS Andri Cahyono.
Popularitas Gereja Puhsarang dengan Gua Maria Lourdes-nya memang luar biasa. Pemerintah Kabupaten Kediri bahkan menetapkan kawasan ini sebagai objek wisata ziarah andalan daerah. Tentu saja, hal ini membuat warga Desa Puhsarang (tak hanya Katolik) kecipratan rezeki dari para peziarah. Kini, warga berlomba-lomba menyewakan kamar, menjual suvenir, berdagang makanan, hingga mengurus parkir.
Namun, di sisi lain, seperti saya saksikan sendiri, terjadi perubahan besar dalam pola pikir masyarakat Puhsarang. Kepolosan, kesederhaan, semangat tanpa pamrih... mulai merosot. Jangan heran, ketika hendak memasuki kompleks Gua Maria, Puhsarang, kita langsung disambut puluhan pedagang asongan yang getol menjajakan rosario, kaus, kaset, patung, serta puluhan aksesoris lain. Namanya juga tempat wisata.